Tak
bisa ku hitung di ketinggian berapa kumpulan gas hidrogen dan helium yang
menjelma menjadi bola raksasa itu berpose di sebuah titik koordinat. Yang jelas sangat tinggi dan berpijar dengan
penuh semangat. Terik sekali. Sudah mirip anjing yang sedang terkapar di lantai
sambil menjulurkan lidah sesekali dan berkipas ria sambil meneguk air mineral
bersuhu entah 0 atau bahkan minus berapa
tak ku tahu. Yang pasti inilah yang ku namakan “Surga Dunia”.
Siang itu benar-benar panas, mungkin
efek pemanasan global. Setidaknya
istilah itu sedang booming tanpa ku
tahu pasti bagaimana dan seperti apa, ikut-ikut saja mengucap “global warming”. Walaupun namaku Sun,
tapi tak pernah sedikitpun bisa bersahabat dengan si sumber energi itu. Sekali
lagi, aku sangat sensitif menyebut istilahnya secara vulgar. Karena aku alergi.
Banyak fakta yang sudah teman dan keluargaku ketahui, bintik-bintik merah akan
muncul di kulitku yang cantik dan itu sangat gatal sekali. Namaku Sunny
sebenarnya, tapi teman seperjuangan lebih suka memanggilku Sun, katanya karena
aku sangat berjodoh dengan si bintang
yang paling dekat dengan Bumi. Menyebalkan,
sialan, dan beberapa umpatan lain
yang harus di sensor.
Terlalu banyak hal aneh yang menerpa
hidupku yang super biasa ini, salah satunya dalam percintaan. Kenapa harus bagian
ini yang ku ceritakan? Karena itu yang paling banyak menarik minat remaja kan? Ohh, maaf jika bukan. Sejak putus dari
si dia yang ya sebut saja I, panjangnya Iiiiiiiii, aku seperti mati rasa untuk
urusan hati. Entah sulit, entah tak mau, entah tak cocok atau bagaimana, yang
jelas aku belum jatuh cinta lagi sampai sekarang. Kalau dihitung ya sudah sekitar
akar dua puluh lima dengan satuan tahun.
Karena sudah selama itu, banyak
sobat yang mengutarakan keprihatinannya secara langsung, bahkan ada yang
mati-matian menyusun rencana candle light
dinner tanpa persetujuanku. Para sobat menyiapkan gaun merah jambu dengan
bunga mekar di bagian pundak, lalu me-make-over
aku dengan pasrah karena diancam tak akan lagi bersobat jika aku menolak.
Hasilnya menurutku malah lebih mirip
Dakocan (yakinkan dirimu searching dengan kata kunci “dakocan”) daripada Belle di kisah “Beauty and The Beast”. Bedak, lipstik
dan blush-on ini terlalu tebal,
gambar alisnya juga beda kiri dan kanan, tepatnya yang kiri lebih tinggi dan
yang kanan lebih panjang. Shading
untuk mengkamuflase ukuran hidungku
yang sebenarnya malah terlihat terlalu tebal dan mengkilat. Bagiku yang buta
soal menyulap wajah, aku tetap bisa memberi nilai 40 untuk diriku yang ku lihat
di pantulan kaca. Berantakan! Tak perlu ku ceritakan rambutku. Lebih berantakan
dari itu!
“Nggaaaakkk maauuuuuuuu............
Dandanan macam apaaa iniiii?????” seketika aku berteriak setelah diam
mengernyit mengamati senti demi senti riasan ala dakocan ini. Mengambil tisu sebanyak-banyaknya menghapus sisa
permainan mereka. Barbie manapun akan
menangis tersayat-sayat kalau tau dirinya dipermainkan seperti ini. Apalagi
aku. Manusia! MA-NU-SI-YAAAA!!
Andmincul, Meme dan Ernny akhirnya mengirimku
ke salon terdekat yang ongkosnya paling murah. Prihatin hasilnya lebih
mencurigakan karena nama salonnya “Cantik Kerlap Kerlip”. Andmincul atau si
mincul itu nama sebenarnya Andhin, tapi ceritanya ngefans sama Le Min Ho dan
Erward Cullen, alhasil jadilah Andmincul. Kalau Meme, memang begitu namanya. Sedangkan
Ernny itu nama samaran si Rena yang tiap hari nyanyi lagunya The Script dengan Danny di posisi
vokalis. Jadilah tiga manusia yang berpredikat sebagai sobatku.
Kembali ke candle light dinner. Akhirnya dengan gaun tersebut di atas dan
riasan seadanya, aku dikirim ke dimensi yang ku tak tahu karena di sana aku
bertemu manusia culun tak
berkacamata. Nggak jelek menurutku,
rambutnya juga nggak klimis, tapi
karena faktor NN akhirnya aku mengategorikan dia manusia culun.
Lima menit berlalu begitu saja dan
terasa amat sangat lama. Membosankan. Hening sekali. Krik krik suara jangkrik. Akhirnya aku berdehem memecah keheningan.
Masih sama, malah semakin keras suara jangkriknya. Mencoba terbatuk-batuk sampai
tersedak, dia hanya mringis
menatapku.
Aku kesal. Akhirnya aku memulai sapaan
pertama dan bertanya nama, “H-Hai...
Nama kamu siapa?”.
“Maikel.”
Medok
dan terpatah jelas tiga suku kata, terdengar seperti “Mak-i-kel”. Dalam tawa, aku tetap
memilih melambaikan tangan gagal uji nyali menghadapi si Maikel. Pulang dengan
segumpal amarah siap mengamuk sobat se-kos-an-ku.
Awas hati-hati! Sun berada di zona konvektif. Oiya aku lupa, NN yang aku bilang tadi
adalah Nggak Nyambung!
“Gimana enggak? Coba bayangin,
bisa nggak bayangin? Praktekin sekalian deh
kalau nggak bisa bayangin!” Aku terhenti mengatur napas. “Ditanya makan apa malah
balik nanya, ditanya sukanya makan
apa malah tanya ‘lha apa’, ditanya
enak yang mana jawabnya ‘nggak tahu’.
Cuma geleng-geleng pringas pringis,
gimana cobaaa? Nggak ada feedback sama sekali!! Emang aku candle light dinner sama anak balita? Zona
konvektif! Pendidihan
kalau kalian mau tahu!”
Ketiganya bungkam. Lama-lama saling
senggol satu dengan lainnya. Saling lirak
lirik curi pandang. Sel-sel gas
raksasa dalam tubuh terus bersirkulasi
menyebabakan transfer energi. Aku tertidur.
Berhari-hari
tak ada interaksi. Tak ada canda tawa dikosan mungil kami yang selalu ber-aura hijau. Kedamaian. Tampak semua
menyibukan diri masing-masing menghindari interaksi dan komunikasi. Akhirnya karena
mendengar suara gas buangan yang sangat keras dari Ernny, tawa pun melebur
menjadi satu dan mengembalikan kehangatan persobatan dudul ala kita.
Sejak
saat itu aku nggak mau dikenal-kenalin lagi. Kopi darat macam apa waktu sama
Maikel itu. Aku kapok se-kapok-kapok-nya! Pertama dan terakhir.
Malah semakin menyadari kalau aku benar tenggelam oleh si I yang sudah tak berkabar. Meringkuk dalam balutan rindu yang
melebur dengan kelenjar hasil proses lakrimasi. Menangis.
bersambung...
#Cerpen ini pernah diikutkan dalam Lomba Menulis Cerpen Faber Castell (2012)
Komentar
Posting Komentar