“Aku nggak tahan, Nin! Aku sangat lelah dengan semua ini!” ujar Lani, sahabatku.
“Iya, Lan, aku paham. Tapi kamu harus kuat! Walaupun mereka bukan pasangan yang baik, mereka tetap orangtua terbaikmu.” kataku memberi pengertian kepada Lani.
Lani masih saja menangis dibalik telapak tangannya.
Sudah dua bulan belakangan ini Lani selalu murung dan sering menceritakan masalah keluarganya kepadaku.
Dia sempat bercerita bahwa akhir-akhir ini orangtuanya selalu bertengkar sambil berteriak-teriak. Benda di dekat mereka selalu melayang dan pecah. Saat itu pula adiknya yang autis, Lina, menangis keras sejadi-jadinya.
Ketika semua itu terjadi, Lani hanya bisa masuk ke kamar, menutup erat-erat telinganya dan menangis.
Lani tidak bisa menerima semua keadaan ini begitu saja. Hingga dia sering sekali menginap di rumahku.
Nilai Lani di sekolah tak bisa dipertahankan. Anjlok. Kecantikannya pun tak tampak karena matanya yang sembab setelah menangis.
Lani juga sering dipanggil guru karena masalah orangtuanya juga terdengar sampai ruang guru.
Kembali malam ini Lani menginap di rumahku.
“Lan, kamu yang normal saja merasa begitu tertekan, apalagi Lina, adikmu. Coba bayangkan! Dia yang hanya bisa duduk di kursi roda dan tidak mengerti apa-apa. Dampingi dia, Lani. Dia berteriak karena dia memang tidak bisa berbuat apa-apa untuk meluapkan emosinya. Jangan tinggalkan dia begitu!” aku mencoba memberi pengertian kepada Lani.
“Aku benci mama, Nin! Coba kalau mama tidak menerima tawaran kerja itu, pasti papa tidak akan merasa diduakan mama. Lina juga pasti akan terus mama rawat setiap waktu. Semenjak itu waktu mama tersita dan jarang di rumah, Nin.”
“Oke. Tapi kamu jangan sering kabur begitu. Kamu bicarakan baik-baik dengan mereka. Cari jalan keluarnya bersama.”
Akhirnya dia mau ku antar pulang setelah dengan susah payah aku memberi pengertian.
Memang benar. Sampai di rumah Lani, keributan dari dalam terdengar sampai keluar. Lani kembali menangis di balik pundakku.
Aku mengetuk pintu dan terhentilah keributan di dalam. Namun masih tak ada yang membuka pintu.
Lani pun menghapus air matanya dan masuk ke dalam.
Dia berkata lirih. “Pa, Ma, Lani capek! Lani nggak kuat dengan masalah keluarga kita. Lani juga kasihan Lina, Pa, Ma! Papa sama Mama emang udah nggak peduli sama kita. Kalian egois!”
“Maafkan papa, Lani. Tapi mama kamu itu-”
“Apa? Papa terus menyalahkan mama, papa sendiri juga tidak mau mengerti mama. Papa cuma bisa-”
“Sekarang lihat! Semua ini gara-gara mama!”
“Papa cuma bisa salahin mama! Papa-”
Mereka malah terus saling menyalahkan tanpa ada penyesalan.
Sambil berlari ke arah Lina, Lani menangis dan mendekap adik semata wayangnya.
Adiknya semakin kurus. Keadaannya sungguh mengkawatirkan. Dia juga sering jatuh dari kursa rodanya.
“Dik, adik jangan nangis, ya. Ada kakak di sini.” Terlihat Lani mendekap erat adiknya.
Aku lega melihat perubahan Lani walaupun orangtuanya masih bertengkar. Aku memutuskan pulang setelah berpamitan kepada Lani dan Lina.
Tetap seperti biasa. Hari ini Lani masih terlihat murung walau sesekali sudah bisa tersenyum karena tingkah laku teman-teman di kelas.
Ku ajak Lani berjalan-jalan setelah pulang sekolah ke sebuah Mall untuk melupakan sesaat kesedihan Lani.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Nin, dua hari lagi Lina ulang tahun.”
“O ya? Bagaimana kalau kita memberi kejutan?” usulku.
“Boleh. Dia pasti senang sekali.” kata Lani dengan ekspresi berseri-seri.
Lani pun membeli sebuah gaun cantik berwarna merah tua yang sangat menawan.
“Lina pasti terlihat sekali dengan gaun ini, Nin!” ujarnya bahagia.
“Iya. Bukannya dia jarang pergi ke pesta, pasti gaun yang lama sudah usang.”
Lani mengangguk dan membayar gaun itu dengan sebuah kalung indah dengan huruf “L”.
Sampai di rumahku, kami menyusun sebuah rencana.
Lani berniat mengundang anak-anak panti asuhan ke rumahnya untuk menghadiri pesta ulang tahun Lina.
2 hari kemudian.
Lani mengucapkan ulang tahun seraya membantu Lina mengenakan gaun yang kemarin dia beli. Tak lupa memasang kalung “L” di leher Lina.
Lina tertawa-tawa saat Lani mendandaninya. Lina terlihat begitu cantik walau memang kecantikannya tak bisa menutupi bahwa dia autis.
Saat Lina keluar dari kamarnya dengan kursi roda, anak-anak panti itu menyanyikan beberapa lagu dan mereka bahagia.
Kemudian Lani menelepon orangtuanya untuk ikut menyaksikan kebahagiaan ini. Setelah menunggu lama, mobil papa datang hampir bersamaan dengan mobil mama.
Mereka tertegun melihat rumah mereka yang mewah penuh dengan tawa, hiasan dan tak ada keributan.
Mereka masuk bersamaan dan melihat Lani dan Lina bercanda bahagia di dalam bersama anak-anak panti.
Lani menghampiri mereka dan berkata, “Maaf, rumah kita menjadi tempat pesta. Tapi papa dan mama hampir lupa bahwa hari ini Lina ulang tahun. Lani hanya ingin memberi hadiah untuk Lina.”
Mama menggandeng Lani dan mengajaknya mendekat ke arah Lina. Papa mengikuti. Sementara itu semua hening.
Mama memeluk Lani dan Lina dengan tangis haru dan berkata, “Maafkan mama, sayang.”
“Maafkan papa juga, sayang. Papa sebenarnya merindukan suasana ini, tapi papa terlalu egois dan menutup diri. Maafkan papa, sayang.”
Lani tersenyum bahagia dan mereka semua berpelukan.
“Lani nggak mau papa sama mama berantem lagi.”
“Iya, sayang.” kata mama dan papa kompak.
Aku pun turut bahagia. Ternyata setelah semua berbaikan, mama Lani mengundurkan diri dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga. Papa Lani bekerja giat namun tetap tak melupakan hari libur untuk meluangkan waktu bersama keluarga.
Sekarang Lani bisa bercanda dan bergaul kembali di sekolah. Berusaha mengejar nilai-nilainya yang tertinggal.
setelah saya mbaca ini......... langsung saya menitikan air mata (buaya/biawak*)
BalasHapus*coret yang tidak perlu
knapah saya sampai mnitikan air mata tersebut?
dikarnekan saya nda' mengerti ini ceritanya.. (padahal udah baca brulang2)
hahaha...selamattt!!!anda krg bruntung..coba sekali lagi...
BalasHapuskisah yang sangat mengharukan...
BalasHapusMksii^^
BalasHapusada saran nggk??