Langsung ke konten utama

Sunny #1


Tak bisa ku hitung di ketinggian berapa kumpulan gas hidrogen dan helium yang menjelma menjadi bola raksasa itu berpose di sebuah titik koordinat. Yang jelas sangat tinggi dan berpijar dengan penuh semangat. Terik sekali. Sudah mirip anjing yang sedang terkapar di lantai sambil menjulurkan lidah sesekali dan berkipas ria sambil meneguk air mineral bersuhu entah 0 atau bahkan minus berapa tak ku tahu. Yang pasti inilah yang ku namakan “Surga Dunia”.
            Siang itu benar-benar panas, mungkin efek pemanasan global. Setidaknya istilah itu sedang booming tanpa ku tahu pasti bagaimana dan seperti apa, ikut-ikut saja mengucap “global warming”. Walaupun namaku Sun, tapi tak pernah sedikitpun bisa bersahabat dengan si sumber energi itu. Sekali lagi, aku sangat sensitif menyebut istilahnya secara vulgar. Karena aku alergi. Banyak fakta yang sudah teman dan keluargaku ketahui, bintik-bintik merah akan muncul di kulitku yang cantik dan itu sangat gatal sekali. Namaku Sunny sebenarnya, tapi teman seperjuangan lebih suka memanggilku Sun, katanya karena aku sangat berjodoh dengan si bintang yang paling dekat dengan Bumi. Menyebalkan, sialan, dan beberapa umpatan lain yang harus di sensor.

            Terlalu banyak hal aneh yang menerpa hidupku yang super biasa ini, salah satunya dalam percintaan. Kenapa harus bagian ini yang ku ceritakan? Karena itu yang paling banyak menarik minat remaja kan? Ohh, maaf jika bukan. Sejak putus dari si dia yang ya sebut saja I, panjangnya Iiiiiiiii, aku seperti mati rasa untuk urusan hati. Entah sulit, entah tak mau, entah tak cocok atau bagaimana, yang jelas aku belum jatuh cinta lagi sampai sekarang. Kalau dihitung ya sudah sekitar akar dua puluh lima dengan satuan tahun.
            Karena sudah selama itu, banyak sobat yang mengutarakan keprihatinannya secara langsung, bahkan ada yang mati-matian menyusun rencana candle light dinner tanpa persetujuanku. Para sobat menyiapkan gaun merah jambu dengan bunga mekar di bagian pundak, lalu me-make-over aku dengan pasrah karena diancam tak akan lagi bersobat jika aku menolak.
            Hasilnya menurutku malah lebih mirip Dakocan (yakinkan dirimu searching dengan kata kunci “dakocan”) daripada Belle di kisah “Beauty and The Beast”. Bedak, lipstik dan blush-on ini terlalu tebal, gambar alisnya juga beda kiri dan kanan, tepatnya yang kiri lebih tinggi dan yang kanan lebih panjang. Shading untuk mengkamuflase ukuran hidungku yang sebenarnya malah terlihat terlalu tebal dan mengkilat. Bagiku yang buta soal menyulap wajah, aku tetap bisa memberi nilai 40 untuk diriku yang ku lihat di pantulan kaca. Berantakan! Tak perlu ku ceritakan rambutku. Lebih berantakan dari itu!
            “Nggaaaakkk maauuuuuuuu............ Dandanan macam apaaa iniiii?????” seketika aku berteriak setelah diam mengernyit mengamati senti demi senti riasan ala dakocan ini. Mengambil tisu sebanyak-banyaknya menghapus sisa permainan mereka. Barbie manapun akan menangis tersayat-sayat kalau tau dirinya dipermainkan seperti ini. Apalagi aku. Manusia! MA-NU-SI-YAAAA!!
            Andmincul, Meme dan Ernny akhirnya mengirimku ke salon terdekat yang ongkosnya paling murah. Prihatin hasilnya lebih mencurigakan karena nama salonnya “Cantik Kerlap Kerlip”. Andmincul atau si mincul itu nama sebenarnya Andhin, tapi ceritanya ngefans sama Le Min Ho dan Erward Cullen, alhasil jadilah Andmincul. Kalau Meme, memang begitu namanya. Sedangkan Ernny itu nama samaran si Rena yang tiap hari nyanyi lagunya The Script dengan Danny di posisi vokalis. Jadilah tiga manusia yang berpredikat sebagai sobatku.
            Kembali ke candle light dinner. Akhirnya dengan gaun tersebut di atas dan riasan seadanya, aku dikirim ke dimensi yang ku tak tahu karena di sana aku bertemu manusia culun tak berkacamata. Nggak jelek menurutku, rambutnya juga nggak klimis, tapi karena faktor NN akhirnya aku mengategorikan dia manusia culun.
            Lima menit berlalu begitu saja dan terasa amat sangat lama. Membosankan. Hening sekali. Krik krik suara jangkrik. Akhirnya aku berdehem memecah keheningan. Masih sama, malah semakin keras suara jangkriknya. Mencoba terbatuk-batuk sampai tersedak, dia hanya mringis menatapku.
            Aku kesal. Akhirnya aku memulai sapaan pertama dan bertanya nama,        “H-Hai... Nama kamu siapa?”.
            “Maikel.”
            Medok dan terpatah jelas tiga suku kata, terdengar  seperti “Mak-i-kel”. Dalam tawa, aku tetap memilih melambaikan tangan gagal uji nyali menghadapi si Maikel. Pulang dengan segumpal amarah siap mengamuk sobat se-kos-an-ku. Awas hati-hati! Sun berada di zona konvektif. Oiya aku lupa, NN yang aku bilang tadi adalah Nggak Nyambung!
            “Gimana enggak? Coba bayangin, bisa nggak bayangin? Praktekin sekalian deh kalau nggak bisa bayangin!” Aku terhenti mengatur napas. “Ditanya makan apa malah balik nanya, ditanya sukanya makan apa malah tanya ‘lha apa’, ditanya enak yang mana jawabnya ‘nggak tahu’. Cuma geleng-geleng pringas pringis, gimana cobaaa? Nggak ada feedback sama sekali!! Emang aku candle light dinner sama anak balita? Zona konvektif! Pendidihan kalau kalian mau tahu!
            Ketiganya bungkam. Lama-lama saling senggol satu dengan lainnya. Saling lirak lirik curi pandang. Sel-sel gas raksasa dalam tubuh terus bersirkulasi menyebabakan transfer energi. Aku tertidur.
            Berhari-hari tak ada interaksi. Tak ada canda tawa dikosan mungil kami yang selalu ber-aura hijau. Kedamaian. Tampak semua menyibukan diri masing-masing menghindari interaksi dan komunikasi. Akhirnya karena mendengar suara gas buangan yang sangat keras dari Ernny, tawa pun melebur menjadi satu dan mengembalikan kehangatan persobatan dudul ala kita.
            Sejak saat itu aku nggak mau dikenal-kenalin lagi. Kopi darat macam apa waktu sama Maikel itu. Aku kapok se-kapok-kapok-nya! Pertama dan terakhir. Malah semakin menyadari kalau aku benar tenggelam oleh si I yang sudah tak berkabar. Meringkuk dalam balutan rindu yang melebur dengan kelenjar hasil proses lakrimasi. Menangis.
            
bersambung...


#Cerpen ini pernah diikutkan dalam Lomba Menulis Cerpen Faber Castell (2012)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Ingin Jogja Selalu Berbudaya

Memanjakan para pengolah obyek tiga dimensi dalam medium dua dimensi di atas canvas . Bagi kubisme , romantisme dan penganut aliran lain, Parangtritis, Malioboro, pasar Beringharjo, Kantor Pos, Senisono,    Ngasem juga Vredeburg adalah surga eksplorasi imajinasi mereka. Sama halnya dengan para fotografer , engraver , penulis, orang-orang di dunia perfilman, bahkan pembuat lirik lagu. Seni, bentuk  bangunan, pakaian adat, kesamaan bahasa, ruang politik dan keberagaman agama adalah unsur budaya yang dimiliki masyarakat kota pelajar untuk mewujudkan Daerah Istimewa Yogyakarta di Pulau Jawa. Pertumbuhan perekonomian Yogyakarta atau Jogja yang meliputi sektor pariwisata, investasi, industri, koperasi dan Unit Kerja Menengah, perikanan dan kelautan, pertanian, serta kehutanan dan perkebunan diharapkan seimbang dengan kebudayaan supaya seolah-olah hidup, tidak hambar dan kelestarian budaya tetap terjaga. Bahkan kebudayaan mempunyai peranan penting sebagai sarana untuk menggerakkan pere

Marahan sama pacar???

Dalam menjalani sebuah hubungan, tak selalu semulus yang kita bayangkan. Awalnya ni ya sama-sama manis, sama-sama sayaaangggg banget. Tapi kalau udah saling kenal malah tak jarang saling ribut marahan yang karena cemburu lah, telat jemput, salah komunikasi, salah paham, atau mungkin juga karena si dia nggak seperhatian ketika di awal kalian jadian. Hmm... Sebenarnya semua itu wajar, teman... Malah ada yang bilang kalau pacaran nggak marahan itu bagai sayur kurang garam. Wauuww... Iya juga siihh... Aku mengalaminya, tapi ketika marahan, rasanya nggak enaaakk banget. Sumpah deh! Mau gini salah, mau gitu salah, mau gini nggak enak, mau makan nggak enak, kepikiran dia terus (mewek-mewek ala bombay India gitu deehh...). Tapi sebenarnya semua bisa dibicarakan baik-baik. Jangan langsung marah atau pun sedih nangis-nangis kalau si dia lagi nggak sesuai dengan mau kita. Misalnya kita lagi pengin jalan bareng, si dia nggak bisa, jangan langsung ngambek ya teman. Mungkin si dia juga lagi sibuk a

Sunny #2

Tahun ke-dua setelah aku di wisuda, aku bertemu seorang berkebangsaan Spanyol sebagai rekan kerja. C harming ! Ku tahu dari majalah kalau George hampir serupa dengan salah satu yang bersinar di Moto GP, Dani Pedrosa. George selalu memakai kacamata hitamnya diatas kepala seperti bandana yang semakin menyedot perhatian para wanita.             Entah mengapa dan tak juga butuh waktu lama, George menyatakan cintanya. Perasaanku norak sekali waktu itu. Hampir tak percaya menjadi penyatu planet Bumi bagian Indonesia dan Spanyol di antara banyak wanita yang be rotasi mengelilinya. Bintang itu memilih wanita berambut singa dengan kulit sawo matang yang Indonesia banget dan hidung yang tak tumbuh ke depan dengan sempurna. Ya, aku menyadari bahwa aku pesek . Aku juga pendek dan butuh mata ketiga untuk membantu penglihatanku yang kabur. Umur 27 aku dilamar George di depan Daddy dan Ibuk. Orang-orang biasa memanggil “Pak Copernicus” tapi aku lebih suka memanggil dengan sebutan Daddy karena